ANALISIS SEMIOTIKA PADA FILM “ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI”
PENDAHULUAN
Film dalam arti sempit
adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih
luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV. Film merupakan salah satu media
massa yang berbentuk audio visual dan sifatnya sangat kompleks. Film menjadi
sebuah karya estetika sekaligus sebagai alat informasi yang bisa menjadi alat
penghibur, alat propaganda, juga alat politik. Ia juga dapat menjadi sarana
rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan
nilai-nilai budaya baru. Film bisa disebut sebagai sinema atau gambar hidup
yang mana diartikan sebagai karya seni, bentuk populer dari hiburan, juga
produksi industri atau barang bisnis. Film sebagai karya seni lahir dari proses
kreatifitas yang menuntut kebebasan berkreativitas. (H. Hafied, 2008:136).
Dalam pembuatan film tidak mudah dan tidak
sesingkat yang kita tonton, membutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang
diperlukan proses pemikiran dan proses teknik. Proses pemikiran berupa
pencarian ide, gagasan, dan cerita yang akan digarap. Proses teknik berupa
keterampilan artistik untuk mewujudkan ide, gagasan menjadi sebuah film yang
siap ditonton. Pencarian ide atau gagasan ini dapat berasal dari mana saja,
seperti, novel, cerpen, puisi, dongeng, sejarah, cerita nyata, bahkan kritik
sosial pada pemerintah. Salah satu film yang berisi kritik sosial pada
pemerintah adalah film ^Alangkah Lucunya Negeri Ini. Film ini merupakan film
drama komedi satire Indonesia yang
SEMIOTIKA
Istilah semeiotics
(dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (460-337 SM), penemu ilmu
medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala, menurut Hippocrates, merupakan
semeion, bahasa Yunani untuk penunjuk (mark) atau tanda (sign) fisik.
Dari dua istilah Yunani
tersebut, maka semiotik secara umum didefinisikan dengan produksi tanda-tanda
dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal
serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa
diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut
membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara
tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.
Teori
Semiotika Roland Barthez
Teori Roland Barthes
(1915-1980), dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan
pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Kata konotasi berasal dari bahasa
Latin connotare, ^menjadi makna_ dan mengarah pada tanda-tanda kultural yang
terpisah/bebeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Kata
melibatkan simbol-simbol, historis dan yang berhubungan dengan emosional.
METODOLOGI
PENELITIAN
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini ialah Content Analysis (Analisis Isi). Analisis isi
(content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap
isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis
isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu
mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi.
Kemudian penelitian ini
menggunakan model Roland Barthes, yang berfokus pada gagasan tentang gagasan
signifikasi dua tahap (two order of signification). Yang mana signifikasi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifer (penanda) dan signified (petanda) di
dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Pada signifikasi
tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth).
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek
tentang realitas atau gejala alam.
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk menjelaskan identifikasi masalah di
atas, maka diambil enam scene serta waktu dan durasinya yang memiliki pesan
terkait dengan Bidang Pendidikan di Indonesia yang telah dianalisis dengan
menggunakan Teori Semiotika Roland Barthes, sebagai berikut:
Scene 1. 00:01:19 -
00:02:09 (54 Detik)
Makna Denotasi dan Konotasi
Pada gambar pertama terlihat Muluk berjalan melintasi
jembatan pinggiran Kota Jakarta, Lalu melewati Pasar Tradisional di bawah
jembatan itu. Di Gambar Berikutnya ditunjukkan
Penjual Batu Kebal Bacok, Penjual
Undur-Undur, Penjual yang menawarkan
Ramalan Hidup, dan Penjual Ayat-Ayat
Pelindung dari Malapetaka. Dan setiap Gambar
tadi, terlihat betapa
antusiasnya pembeli dengan
tawaran-tawaran tadi.
Konotasi yang ingin
disampaikan oleh gambar
ini adalah adanya
kontradiksi antara dua paham atau kepercayaan dalam Masyarakat Indonesia. Di Abad 21 ini, meskipun
Logika dan
Pemikiran Modern sudah muncul di bidang akademik, Masih begitu banyak
Masyarakat di Indonesia masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, pemujaan terhadap
roh (sesuatu yang
tidak tampak mata).
Mereka percaya bahwa
roh nenek moyang yang telah
meninggal menetap di tempat-tempat tertentu, seperti pohon- pohon besar. Arwah nenek moyang itu sering dimintai
tolong untuk urusan
mereka.
Makna Mitos
Dunia mengenal
Indonesia adalah Negara
yang beraneka ragam
agama dan sangat memegang kepercayaan Kepada Tuhan yang
Maha Esa.
Kepercayaan Agama Kristen, dalam Kitab Imamat 19:31, ”Janganlah kamu berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal; janganlah kamu mencari mereka dan dengan demikian menjadi najis karena mereka; Akulah TUHAN, Allahmu.”. Dalam Agama Islam, “Janganlah kamu sujud bersembah kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakan matahari dan bulan, jika kamu benar-benar ingin menyembah kepada-Nya”(QS. Fush-shilat : 37)”.
Scene 2 (00:02:56 - 00:03:52)
Denotasi
Gambar
ini memperlihatkan Muluk membuntuti salah satu pencopet
pasar. Ia terlihat sangat kesal dengan kelakuan
Pencopet Cilik itu, disaat sulitnya
mencari kerja, Ia muncul yang dengan mudahnya mendapat uang dengan
cara mencopet
Konotasi
Pencopet: Saya kan pencopet bang, bukan tukang minta-minta? Makna
Konotasi yang
muncul disini yaitu
Gambaran Anak-anak Jalanan
di Indonesia (Jakarta) yang sudah sejak dini
dipekerjakan sebagai pencopet, bukan tukang minta-minta.
Pencopet sangat dikonotasikan sebagai tindakan kriminal, tapi dalam dialog adegan diatas, tukang minta-minta terdengar lebih ‘rendahan’ dari pencopet, karena mencopet sudah layaknya seperti pekerjaan yang digeluti anak-anak jalanan di Ibukota. Sedangkan Tukang Minta-Minta (Mengemis) diartikan sebagai tindakan keputusasaan atau bukan suatu profesi maupun pekerjaan.
Mitos
Kalau dari sudut
pandang pencopet, mereka
menanggap mencopet sebagai
suatu
pekerjaan yang layak bagi
mereka. Disamping kondisi
pendidikan formal dan keagamaan
mereka yang belum pernah mereka dapat dan tak tahu mana yang benar maupun
salah. Mereka telah melakukan usaha dengan mengeluarkan keringat dan rela
mempertaruhkan nyawa mereka demi
mencari sesuap nasi.
Dimana prinsip mereka
lebih baik mencopet
dari pada meminta-minta, menunggu
belas kasihan orang
lain dengan mengharapkan tangan yang memberi membeli makanan
mereka.
Dari
pada mati kelaparan
tanpa suatu usaha, lebih baik menghargai hidup
dan memiliharanya dengan cara mereka
sendiri walaupun sebenarnya cara mereka salah. Karena pendidikan yang minim lah membuat mereka
tidak tahu mana
yang benar atau salah.
Denotasi
Muluk mencoba
melamar di sebuah
perusahaan dimana perusahaan tersebut sudah
mendekati ‘gulung tikar’. Pemimpin Perusahaan disini terlihat sudah putus asa
dengan Sarjana Manajemen (Ekonomi) maupun Ilmu Manajemen
yang ternyata tak bisa menyelamatkan Perusahaannya.
Konotasi
Adegan ini menggambarkan begitu
sulitnya lapangan pekerjaan di Indonesia, Ilmu Manajemen dikonotasikan Ilmu pendidikan yang terbanyak dituntut
oleh Kaum Intelektual saat ini.
Permasalahan ini berasal dari
perguruan tinggi yang hanya lebih
terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus
dengan IPK cumlaude tanpa memberikan
kompetensi dan keterampilan untuk mengenal dan memasuki dunia kerja. Umumnya pengangguran sarjana ini memiliki keterampilan yang rendah
dan belum siaap mental untuk memasuki dunia
kerja. selain karena
sumber daya manusia
(mahasiswa) yang kurang berkualitas, kurangnya jumlah lapangan
pekerjaan padat karya yang mampu menyerap tenaga
kerja, sehingga mendorong tingginya tingkat pengangguran di Indonesia.
Mitos
Indonesia menurut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pengembangan (OECD),
Indonesia bakal menjadi negara dengan jumlah
sarjana muda terbanyak
kelima di masa depan. Situasi ini bakal
terwujud paling lambat
pada 2020 mendatang. Pada 2020, OECD memperkirakan
jumlah itu bakal bertambah menjadi 6 persen.Sehingga, Indonesia sekaligus mengalahkan Inggris,
Jerman, dan Spanyol,
sebagai negara penyumbang sarjana muda terbanyak. Bahkan pada masa-masa itu kemungkinan besar
jumlah sarjana terdidik negara ini tiga kali lebih banyak
dibanding Prancis.
Tapi dari segi jumlah pengangguran,
Data statistik menyatakan jumlah pengangguran
sarjana atau lulusan universitas pada Februari 2013 mencapai 360 ribu orang,
atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang.
Terlihat sangat miris, secara Fakta
memang Indonesia memiliki ‘segudang’ pengangguran sarjana,
tetapi di lain sisi Indonesia
punya ‘barisan’ kaum intelektual siap bersaing di dunia.
Scene 4 (00:06:40 - 00:08:00)
Denotasi
Pak
Makbul, Haji Sarbini, dan Haji Rahmat
dalam adegan ini
berdiskusi tentang penting atau tidaknya pendidikan di Indonesia, berkaca
dari pembagian sembako
di Kelurahan tersebut.
Konotasi
Pak Makbul
menyinggung Negara Jepang
Amerika, Prancis, dan Inggris yang maju
karena Pendidikan. Maksudnya Indonesia mesti belajar dari Negara-negara
tersebut. Dikonotasikan keempat Negara
tersebut maju semata-mata hanya karena Pendidikan. Di lain sisi Pendidikan memang sangat penting,
tetapi tanpa topangan
baik dari pemerintah dan kemauan
keras dari masyarakat Indonesia untuk menempuh
pendidikan sangat mustahil untuk menyamai maupun mendekati
kesejahteraan Bangsa seperti Negara- Negara diatas.
Mitos
Negara Jepang,
Amerika, Prancis, dan Inggris tidak hanya karena
pendidikan
membuat keempat
Negara ini serta merta menjadi maju.
Suatu Negara harus
memenuhi 5 syarat
agar dikatakan Negara
Maju. Ciri −ciri negara Maju .Umumnya Negara
Maju memiliki ciri
- ciri sebagai berikut:
a. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Relatif
Tinggi.
b. Perekonomian bertumpu
pada sektor Industri
dan Jasa.
c. Angka Pengangguran
Relatif Rendah.
d. Pendapatan Per Kapita Berada
Pada Kisaran yang
Tinggi.
e. Memiliki Banyak
Modal Untuk Pelaksanaan Pembangunan.
Jadi, banyak
faktor yang mendukung suatu Negara untuk
maju. Pendidikan adalah salah satu
hal penting untuk
diberdayakan, tetapi teknologi, industry, dan pendapatan Negara juga sangat mempengaruhi kemajuan suatu Negara.
Denotasi
Dalam adegan
ini menunjukkan bagaimana
makna pendidikan dijelaskan kepada para pencopet cilik. Samsul dan
Muluk menjelaskan bahwa meskipun kelak masih berpendidikan mereka tetap bisa mencopet, seperti
para Koruptor. Gambar terakhir
terlihat para pencopet
cilik sangat antusias
ingin menjadi seperti
‘pencopet berpendidikan’ itu.
Konotasi
Pada Scene ini, Mengkonotasikan apakah Pendidikan itu Penting atau
tidak penting di Negara Kita.
Muluk: Cukup,
Kita Harus jujur. Oke Begini.
Orang Pendidikan juga ada yang nyopet. Tapi mereka nggak nyopet dari dompet yang
isinya terbatas. Mereka nyopet dari Lemari, dari Brangkas, dari Bank.
Pencopet Cilik : Kita mau bang!
Samsul : Oke-Oke, Orang pendidikan yang nyopet itu tidak disebut
pencopet. Tapi Koruptor. Berbeda dengan Pencopet
dan Pengemis, Pencopet
dan Koruptor, tidak hanya serupa, malahan
Tindakan Korupsi itu lebih keji dari mencopet. Mencopet segelintir orang.
Sedangkan Korupsi mencuri
uang rakyat, kota,
bahkan Negara.
Mitos
Seharusnya semakin berpendidikan seseorang, semakin berubah
sikap, tata laku
dan mengalami pendewasaan, akan
sangat ironis jika
masih banyak yang
melakukan tindak Penyelewengan atau penggelapan uang negara atau
perusahaan dsb. (Korupsi).
Secara Mitos, Tindakan Kejahatan hanya
dilakukan orang orang yang tak berpendidikan. Faktanya, di Abad 21 ini, Kejahatan sudah banyak ditemukan dilakukan oleh orang-orang
‘berdasi’, yaitu orang-orang yang telah menuntut ilmu pengetahuan ke jenjang Strata 1 (S1) bahkan lebih dari itu.
Scene 6
(01:38:14 - 01:40:06)
Denotasi
Pada Gambar pertama terlihat
Muluk beradu argument
dengan beberapa Sat-Pol PP yang ingin menangkap Para Pengasong Cilik
tadi. Lalu di Gambar-gambar selanjutnya menampilkan ekspresi dari Para pengasong yang sangat sedih
melihat sesosok figure
yang berhasil merubah hidup mereka. Di lain sisi diperlihatkan sekelompok anak-anak SD beserta Gurunya yang sangat antusias
menunggu kedatangan Presiden
dengan bersiap mengubarkan bendera
kecil saat nanti
Mobil Presiden akan melewati jalan
raya itu. Lalu
di gambar terakhir muncul
UUD 1945 Pasal
34 ayat (1)
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
Konotasi
Salah satu
tradisi anak-anak Sekolah
Dasar yaitu mengibarkan bendera kecil di jalan
ketika Orang Nomor Satu (Presiden) akan melewati jalan raya. Tradisi
yang merupakan pengaruh Presiden kepada
Anak-anak SD ini dikaitkan dengan
pengaruh Muluk kepada
Para Pengasong Cilik yang
dulunya mereka Sekelompok Pencopet cilik.
Sangat
Ironis melihat adegan
ini, selain itu,
muncul UUD 1945
Pasal 34 ayat
(1) “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Tetapi
pada nyatanya di scene
ini Sat-Pol PP ditugaskan menangkap
Anak-anak terlantar yang sudah menjadi pengasong, dengan
alasan mengganggu lalu lintas.
Mitos
Secara legal formal,
negara boleh menunjukkan kepedulian terhadap masa
depan
anak-anak jalanan ini. Dalam pasal 34: 1, UUD 1945 disebutkan: “Fakir miskin dan anak-
anak terlantar dipelihara oleh negara. ”Berdasarkan pada pasal ini
maka anak-anak jalanan merupakan tanggung jawab negara.
Tapi ada yang ganjil. Anak
jalanan justru mengalami peningkatan secara
kuantitas di daerah-daerah perkotaan dan daerah-daerah sub urban.
Fakta ini menunjukkan ada
yang perlu diluruskan dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu kebijakan struktural yang belum
menyentuh penanganan mereka secara serius. Pemimpin rakyat
sibuk memperkaya diri seolah-olah tanggung
jawab memenuhi janji-janji kampanye mereka
dianggap selesai saat
mereka mendapatkan kusi kekuasaan yang mereka inginkan. Nasib anak-anak jalanan
di negeri ini
berbanding lurus dengan nasib
orang-orang miskin, ditelantarkan dan tidak pernah
mendapatkan perhatian yang memadai
dari pemerintah. Kalau
demikian kenyataannya, adakah
maksud Pasal 34:1 UUD 1945, hendak dibaca: Fakir
miskin dan anak-anak yang terlantar “dipelihara” oleh negara. “Dipelihara” dalam tanda kutip, maksudnya selalu ada dan “akan dipelihara” keadaan yang demikian di negeri ini.
KESIMPULAN
1. Makna Denotasi
Makna denotasi dalam penelitian ini adalah gambaran tentang potret kehidupan Anak- anak terlantar di Indonesia yang dahulunya pencopet menjadi pengasong, khususnya di Jakarta, Sehingga, ada beberapa lokasi yang diwakilkan, serta Lingkungan kehidupan rakyat Indonesia di Jakarta.
2. Makna Konotasi
Makna konotasi yang terlihat dalam film ini adalah perjuangan yang dilakukan Muluk terkait dengan Penerapan dan pengimplementasian Pendidikan yang sesungguhnya dalam kehidupan. Lebih khusus lagi, Muluk berjuang dengan cara merubah kehidupan sekelompok pencopet cilik kepada profesi yang ‘halal’ yaitu menjadi pengasong cilik.
3. Mitos
Ada beberapa mitos yang terlihat dalam film ini, yaitu tentang apakah pendidikan itu penting di Negara Kita, Masih banyak Orang yang ‘salah’ dalam berpendidikan sukses menjadi Koruptor, dan UUD 1945 Pasal 34 (1) yang katanya melindungi anak-anak terlantar yang justru malah menangkap mereka layaknya seorang ‘penjahat’. Secara singkat, mitos yang ada dalam film ini adalah Negara Indonesia yang masih perlu dibangun dari segi ilmu pengetahuan yaitu pendidikan secara teori dan penerapan, khususnya pendidikan moral dan spiritual.
sumber :
Komentar
Posting Komentar